Kota di mana Payung Tradisi Dirawat
Hujan sudah mengintip di bulan September. Beberapa kali bahkan disertai angin, air terguyur hebat di atas kotaku, Solo. Secara sengaja aku menelusur beberapa mini market modern hanya untuk memastikan adakah dijual payung di sana. Syukurlah masih ada, meski tak banyak pilihan. Setidaknya payung masih dibutuhkan untuk mangsa panas dan hujan. Tetesan hujan di kepala membawa kenangan pada peristiwa beberapa hari lalu.
Puro Mangkunegaran 2 September 2022. Sejak pukul 3 siang barisan wajah ayu dan gagah berbusana nusantara hadir sebagai Parade Berpayung Nusantara, menyusur kawasan Ngarsopuro menuju pamedan Puro Mangkunegaran. Memasuki taman teratai, sejauh mata memandang hanya melulu payung dengan aneka corak terpajang cantik mengelilingi Pendapa Dalem Ageng. Sungguh suasana gembira saja yang terasakan. Beberapa payung dalam ukuran raksasa terpajang di taman pendapa membuat diri terlihat kecil saat berfoto di antaranya. Pohon-pohon besar berjajar rapi bak payung alam pelindung di kala siang terik.
Panggung di antara kolam teratai dan pendapa ageng, menjadi tempat para penari menari riang. Hingga matahari terlelap ke belahan barat, pertunjukan mengalir disuguhkan dari barat nusantara Bukit Tinggi hingga timur nusantara, Lombok NTB. Tak ketinggalan negara-negara sahabat, India, Thailand, tari-tari lembut hingga rancak dibawakan memberi suasana emosional para pengunjung. Sabtu malam itu ditutup dengan tampilan saya menikmatinya dari kejauhan sambil merasakan angin yang membelai halus.
Festival Payung Indonesia (Fespin) ke-9 yang mengusung tema: Kingdom and Umbrella adalah sebuah pengalaman yang membuat saya terpesona kepada sebuah ide. Payung-payung tradisi yang dulu kala hanya ada di tembok tertutup (baca: kraton, kerajaan) kini dapat disentuh rakyat biasa. Fespin adalah sebuah ajakan untuk berkehendak bebas mengubah lingkungan kehidupan. Sebuah kehendak bebas atau intensi (keinginan) yang berdampak, pada diri sendiri dan dunia yang ditinggali. Usai menyantap kudapan di area pamedan (semacam alun-alun), menikmati pertunjukan di pendapa ageng, adalah sebuah cara melestarikan budaya tradisional dengan tepat. Bukankah makanan adalah penyehat tubuh dan seni penjaga jiwa yang gembira?
Bagi pengunjung, Fespin adalah sebuah ruang percakapan sederhana bukan hanya dengan diri sendiri, sahabat, pasangan, atau anak-anak, tetapi juga dengan senja dan pepohonan. Masyarakat bersahabat-karib dengan segala rupa untuk dilihat. Bermula dari payung tradisi nusantara, kini bentuk-bentuk hasil kreativitas dari kertas, kain, benang, daun, plastik, hingga kulit kayu dengan berbagai teknik yang detil dan rumit, kian merebak dan mengagumkan. Umbrella fashion, galeri wastra dan lukisan di atas payung, tas, dan kaos; tangan anak-anak menari menggoyangkan payung… membawa rasa tak sabar untuk hadir lagi di tahun depan.
Bagi pengrajin, artisan, kreator, Fespin menguji dan melatih gagasan-gagasan yang asli dan mandiri. Kelompok lokal muncul, berjejaring dengan yang sudah mengakar kuat. Komunitas-komunitas menjadikannya sebuah perjumpaan lintas kota. Sebuah Kredo dan praktik artistik yang bertumbuh. Pun pula babak baru dimulai, lahirnya percakapan setara yang dibangun sebagai gagasan besar dari inisiatif, diskusi, dan kolaborasi antarkomunitas secara intensif. Kelak menjadi dokumen untuk generasi yang akan datang.
Bagi kota, adalah sebuah keniscayaan bahwa pertumbuhan ekonomi dibuktikan lewat jalan kebudayaan. Penginapan penuh, tempat makan sibuk melayani tamu, kampung wisata dipadati pembeli batik, kudapan lokal pun lestari.
Bagaimana cara menyelenggarakan pameran besar menarik tetap merupakan pertimbangan penting agar festival ini berusia panjang. Sebelum payung kelak hanya akan dapat ditonton di museum atau galeri (karena tak ada yang abadi), maka kehadirannya diistimewakan. Tradisi berpayung dari ragam latar menjadi bergerak, bukan benda mati dingin tak terjamah. Namun lewat gerak dan tari, lagu dan literasi, ruang pameran dan workshop, payung menjadi bernyawa. Di sisi lain bagi penulis, sang founder Fespin, Heru Mataya tengah menciptakan habitus baru: kepenontonan lokal yang berdaya akan membawa pulang pengalaman peristiwa Fespin ini menjadi refleksi spiritualitas lewat buku Payung Tradisi Nusantara-nya.
Puro Mangkunegaran (1757) menjadi saksi keindahan, keanggunan sarat pesan kesetiaan para pengrajin dan seniman payung nusantara mendeklarasikan betapa kayanya negeri ini. Tulisan ini tak cukup kata melukiskan keria-an Festival Payung Indonesia ke-9, 2 - 4 September 2022 lalu.
Kelak, bila Kota “Jiwanya Jawa”, surganya para pecinta batik itu sudah mewujud menurut bayangan para penggagasnya, kota ini juga akan mendapat julukan tambahan: Kota Payung yang dikenal-dikenang karena payung mendapat tempat khusus di hati tak hanya warganya, tapi juga dunia. Kota di mana Payung Tradisi terawat untuk generasi tanpa batas.
Seperti itu.
Solo, 21 September 2022
*Foto: dok.pribadi
Comments
Post a Comment